Home / News / Digitalisasi
Namun, ada ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit yang diklaim terkait dengan deforestasi, perpindahan habitat alami, dan disalahkan sebagai penyebab polusi udara terkait kabut asap di kota-kota Asia Tenggara. Ia juga telah disarankan sebagai kontributor utama pemanasan global melalui tanah gambut kaya karbon yang dipindahkan dan lahan basah yang konon digunakan untuk budidaya kelapa sawit.
Sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia, Indonesia dan Malaysia telah menyadari hal tersebut. Moratorium lahan telah diterapkan, terutama di lahan gambut dan hutan hujan. Namun dalam praktiknya, penekanan terlalu sering ditempatkan pada menemukan solusi untuk masalah parsial.
Upaya tersebut kurang mempertimbangkan aspek jangka panjang dan tidak mencerminkan pembangunan berkelanjutan dari rantai pangan agro yang menuntut transparansi data dan informasi. Oleh karena itu, penting untuk ditekankan bahwa semua upaya harus lebih berorientasi pada pemangku kepentingan untuk mengadopsi teknologi baru sebagai pilihan dan nilai.
Tantangan keberlanjutan dan ketertelusuran
Ketika perusahaan mengambil keputusan untuk mengadopsi teknologi baru, mereka harus mempertimbangkan dua faktor penting, yaitu tantangan keberlanjutan dan tantangan keterlacakan. Mereka menghadapi masyarakat global yang menuntut transparansi dan pasar global yang sangat kompetitif.
Namun memodifikasi manajemen yang telah mengakar selama bertahun-tahun krisis tidaklah mudah. Faktanya, sektor kelapa sawit baik di Indonesia maupun Malaysia berkembang pesat, namun perkebunan dan produsen memiliki kinerja yang jauh di bawah potensinya, dengan hasil yang lebih rendah dari optimal.
Tentang hal ini, Chief Executive Officer dari eKomoditi Solutions Indonesia, Ferron Haryanto, berpendapat bahwa tanpa melakukan transformasi digital ditentunya tidak mudah bagi produsen sawit untuk merealisasikan permintaan tersebut mengingat kompleksnya arus bisnis sawit yang melibatkan jutaan orang.